setuju dengan artikle ini.
'ilmu yang turun ke bumi hanya setitik dari lautan yang luas'
--- On Tue, 7/1/08, w.mine <w.mine@yahoo.
From: w.mine <w.mine@yahoo.
Subject: [Dokter Umum] Re: setuju banget banget,keterpaksaan yng membuat mereka tidak lagi bekerja deng
To: dokter_umum@
Date: Tuesday, July 1, 2008, 10:32 PM
--- In dokter_umum@ yahoogroups. com, "muslimahhussein@ ..."
<muslimahhussein@ ...> wrote:
>
> Artikel ini benar2 mencerminkan apa yg dialami dokter2
sekarang.dimana semua peraturan yang ada sangat menyulitkan dan
berbelit2.ironisnya peraturan2 itu dibuat oleh orang2 dikomite yang
juga bergelar dokter.sekarang ini untuk menjadi dokter yg idealis
mungkin cuma sebatas angan...salut buat artikel ini
best regard -imah-
>
> nevid erlina wrote:
> > setuju banget pak...
> > --- On Fri, 5/23/08, Meytha milis_only1@ ... wrote:
> > From: Meytha milis_only1@ ...
> > Subject: [Dokter Umum] [Republika Online] Keterpaksaan Dokter
> > To: dokter_umum@ yahoogroups. com
> > Date: Friday, May 23, 2008, 5:22 AM
> > 22 Mei 2008
> > Keterpaksaan Dokter
> > Rizky Adriansyah
> > Penulis adalah Ketua Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Cabang
> > Medan
> > Sejarah mencatat dokter merupakan profesi yang mulia karena berusaha
> > menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan manusia. Kemuliaannya sulit
diukur
> > dengan sesuatu yang berbau materiil.
> > Konon ketika negara kita belum merdeka, para dokter pribumi, seperti
> > dokter Wahidin dan dr Sutomo sangat jarang dibayar. Ada suatu
kenikmatan
> > apabila dokter berhasil menyembuhkan pasiennya.
> > Namun, yang terjadi sekarang dokter kecewa jika pasien tidak membayar
> > sesuai yang diharapkannya. Degradasi nilai sosial tersebut terjadi
> > ketika nilai-nilai kemanusiaan 'teracuni' uang.
> > Dokter juga dihadapkan pada kenyataan dunia telah berubah dari
> > humanistik menjadi lebih materialistik. Salahkah dokter kita karena
> > berubah?
> > Tidak, karena ternyata negara kita memaksa mereka mengabdi. Pengabdian
> > mereka bukan karena kesadaran, tetapi keterpaksaan. Mulai dari
> > pendidikan di perguruan tinggi sampai menjalankan tugas di masyarakat.
> > Sewaktu masih menjadi mahasiswa kedokteran, sangat banyak waktu yang
> > harus dikorbankan untuk mengerjakan tugas, praktikum, dan
mempersiapkan
> > ujian. Itu harus dilakukan secara terpaksa karena mereka telah
membayar
> > mahal dan demi cita-cita menjadi dokter.
> > Selama menjadi dokter muda (co-assistant) , mereka harus belajar dan
> > bekerja dengan melayani pasien tanpa dibayar. Itu harus dilakukan
secara
> > terpaksa. Lagi-lagi karena mereka telah membayar mahal dan demi
> > cita-cita menjadi dokter.
> > Setelah menjadi dokter, mereka harus mengikuti ujian kompetensi
sebagai
> > syarat menjalankan praktik kedokteran. Itu harus dijalani dengan
> > membayar mahal karena ingin menjadi dokter.
> > Selesaikah keterpaksaan untuk dapat mengabdi tersebut? Belum, sebab
> > harus sekolah lagi menjadi dokter spesialis. Lalu sudah sadarkah para
> > dokter kita untuk mengabdi?
> > Pemerintah kita seakan tak peduli dengan pentingnya kesadaran dokter
> > untuk mengabdi. Daripada pemerintah harus membayar mahal untuk
> > memberikan pendidikan kedokteran yang menyadarkan dokter untuk
mengabdi,
> > pemerintah lebih memilih memberikan kesempatan pada perguruan tinggi
> > membuka fakultas kedokteran sebanyak-banyaknya.
> > Masalah kualitas dokter adalah tanggung jawab institusi pendidikan dan
> > organisasi profesi. Yang penting bagi pemerintah adalah kuantitas dan
> > pemerataan. Tidak jelas dengan ketidakmerataan dokter, pemerintah
> > menjadi kebingungan seakan menyalahkan institusi pendidikan karena
tidak
> > mampu memproduksi dokter yang sadar mengabdi kepada masyarakat.
> > Kenyataan tersebut tidak membuat pemerintah kita berhenti memaksa para
> > dokter agar mau mengabdi. Pemerintah membuat kebijakan/peraturan yang
> > memaksa para dokter harus membayar karena ketidakmerataan dan kualitas
> > dokter yang rendah tersebut. Kesalahan pemerintah dalam mengolah data
> > dan meregulasi jumlah dokter harus dibayar para dokter untuk memiliki
> > Surat Tanda Registrasi (STR) menggantikan Surat Penugasan (SP).
> > Kesalahan pemerintah untuk memeratakan dokter diperbaiki dengan
> > membatasi izin praktik dengan hanya tiga tempat praktik. Karena
semakin
> > sedikit tempat praktik dokter, pemerintah daerah menaikkan retribusi
> > izin praktik dokter dan teriming-iming mengenakan pajak yang lebih
> > besar.
> > Penyakit pemerintah untuk memaksa para dokter tersebut agar mengabdi
> > juga menular ke institusi pendidikan dan organisasi profesinya.
> > Kesalahan institusi pendidikan karena menciptakan dokter yang tidak
> > berkualitas harus dibayar para dokter untuk memiliki sertifikat
> > kompetensi.
> > Tahu begitu pentingnya sertifikat kompetensi bagi para dokter,
> > organisasi profesi memaksa para anggotanya untuk membayar Pendidikan
> > Kedokteran Berkelanjutan sebagai syarat mendapatkan sertifikat
tersebut.
> > Hal tersebut terpaksa dilakukan para dokter agar dapat mengabdi kepada
> > masyarakat. Jika sudah demikian, berapa uang yang harus dikumpulkan
> > dokter untuk membayar pengabdian dan berapa pula biaya yang harus
> > dibayar masyarakat sebagai penghargaan atas pengabdian dokter
tersebut?
> > Sadarkah para dokter dengan bentuk dan cara pengabdiannya
sekarang? Para
> > dokter seakan lupa bahwa yang membangkitkan semangat meraih
kemerdekaan
> > adalah profesi mereka. Dokter Wahidin, dr Sutomo, dan lain-lain
berusaha
> > menjadi dokter agar dapat menolong rakyatnya melalui Budi Utomo.
> > Tak terbesit sedikit pun di dalam hati mereka mendapatkan bayaran
dalam
> > usaha memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Tak pernah terpikirkan oleh
> > mereka akan menjadi pahlawan yang dikenang karena berusaha
membangkitkan
> > rakyatnya dari keputusasaan untuk melawan penjajah.
> > Di tengah kesibukan mengurus embrio negara, dokter Wahidin dan
> > kawan-kawan tetap memberikan pelayanan kesehatan karena kesadaran akan
> > nilai-nilai kemanusiaan. Harkat dan martabat dokter tetap dijaga
dengan
> > memberikan pelayanan kesehatan tanpa memandang suku, agama, ras, dan
> > bahkan penjajah yang sedang sakit sekalipun.
> > Seratus tahun berlalu, dokter kita terlena. Mereka disibukkan dengan
> > mencari uang. Bukan hanya untuk makan mereka, tetapi untuk negara.
> > Tidak perlu dihitung berapa biaya pendidikan yang telah dikeluarkan.
> > Dokter umum saja harus membayar lebih dari Rp 30 juta selama lima
tahun
> > (Rp 500 ribu/bulan) agar dapat menjalankan praktik kedokteran. Mengapa
> > sebesar itu?
> > Untuk lima tahun, seorang dokter umum harus membayar Rp 250 ribu untuk
> > Surat Tanda Registrasi (STR), Rp 500 ribu untuk uji kompetensi dan
> > sertifikat kompetensi, Rp 600 ribu untuk iuran organisasi profesi, Rp
> > 150 ribu untuk izin praktik, ditambah Rp 500 ribu untuk pajak, plus Rp
> > 10 juta untuk mengikuti Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB), dan
> > Rp 15 juta untuk sewa tempat praktik. Tidak cukup untuk bisa kaya
dengan
> > bayaran pasien yang berobat, para dokter pun berkolusi dengan
perusahaan
> > farmasi.
> > Akibatnya, masyarakat mengidentikkan dan mengukur harkat dan martabat
> > dokter dengan senilai harga yang bisa dibayar. Semakin spesialistik
> > dokter tersebut, semakin mahal harganya.
> > Semakin terhormatkah profesi dokter di mata masyarakat? Jawaban
tersebut
> > harus dibayar mahal oleh dokter ketika dihadapkan pada tuntutan
> > malapraktik.
> > Pada kondisi tersebut, para dokter baru sadar bahwa cap dokter
> > malapraktik yang dilekatkan kepadanya menambah gelar sebagai
dokter PTT
> > (profesi tidak terhormat). Hukuman moral itu saja sudah harus dibayar
> > mahal oleh para dokter dengan tidak ada lagi pasien yang mau berobat
> > kepadanya. Yang lebih menyedihkan, jika ternyata ia terbukti melakukan
> > tindakan malapraktik yang memaksa mereka melakukan pengabdian di balik
> > jeruji besi.
> > Dokter juga manusia. Ia tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilafan.
> > Satu nilai kemanusiaan yang masih ada di dalam hati nurani dokter
> > Indonesia terhadap bangsanya, yaitu tidak ada sedikit pun keinginan
> > ataupun motivasi untuk menyakiti pasien dan masyarakatnya. Tidak ada
> > dokter Indonesia yang sengaja ingin membunuh pasiennya.
> > Di sisi yang lain, dokter juga sangat ingin pasien dan masyarakat
dekat
> > dan sayang kepada mereka. Hal yang sudah sangat jarang didengar di
> > telinga para dokter adalah ketika keluarga pasien atau pasien sendiri
> > berusaha mendatangi dokter untuk mengucapkan terima kasih setelah
> > sembuh.
> > Apakah karena merasa dokter telah dibayar mahal sehingga terlalu
> > berlebihan dan menghabiskan waktu untuk mengucapkan terima kasih?
> > Wallahu ¡alam.
> > Lalu, kapan para dokter bisa berbenah diri jika waktunya habis untuk
> > mengabdi? Siapa dokter-dokter yang merenungi nasib bangsanya setelah
> > seratus tahun yang lalu dokter Sutomo dan kawan-kawan
membangkitkan rasa
> > nasionalisme bangsanya?
> > Jangankan merenung nasib bangsanya, merenung nasibnya sendiri saja ia
> > tidak punya waktu! Dokter terbelenggu dengan model pengabdian yang
> > dijalankannya. Seperti sudah menjadi pilihan hidup, dokter menjalankan
> > praktik kedokteran sebagai sebuah kebiasaan. Terbiasa dengan tugas dan
> > praktik yang monoton, dokter merasa telah berhasil menjalankan profesi
> > kedokterannya.
> > Tidak ada keinginan sedikit pun untuk menjadi dokter Sutomo-dokter
> > Sutomo berikutnya. Tidak tahu atau tidak tahu menahu bahwa dirinya
> > merupakan agent of change dan agent of development seperti yang
> > didengung-dengungka n Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam rangka
> > memperingati seabad peran dokter pada 20 Mei 2008 ini.
> > Yang penting bisa praktik sebagai dokter demi sesuap nasi dan menambah
> > harta yang diwariskan kepada anak cucunya. Salahkah profesi dokter
kalau
> > dokter-dokter kita menjadi egoistis dan individualistis? Ataukah ini
> > bagian dari tuntutan zaman?
> > Euforia bahwa dokter Indonesia telah mengabdi selama seratus tahun di
> > Indonesia dimaknai dengan berbagai kegiatan IDI yang sedikit menyentuh
> > hati nurani para dokter dan terkesan juga memaksa para dokter untuk
> > mengabdi. Kegiatan aksi minimal dengan menggratiskan jasa dokter pada
> > tanggal 20 Mei 2008 seakan membenarkan bahwa selama ini praktik
> > kedokteran di Indonesia identik dengan uang sehingga perlu pengabdian
> > semu dengan membebaskan biaya selama satu hari.
> > Apakah dengan satu hari dokter kita menyadari nilai-nilai kemanusiaan
> > yang menjadi bingkai profesionalisme mereka? Lalu sehatkah pemerintah
> > dan bangsa kita dengan model pengabdian dokter sekarang ini?
> > Terserah dengan apa yang dilakukan organisasi profesi dalam memaknai
> > seratus tahun pengabdiannya, akhirnya penulis mengucapkan selamat hari
> > kebangkitan nasional dan seabad peran dokter di Indonesia. Semoga
> > rintihan tulisan ini dapat meneriakkan sanubari para dokter Indonesia
> > untuk bangkit melawan penjajahan terhadap profesionalisme.
> > Semoga para dokter Indonesia bangkit melawan penjajahan terhadap
harkat,
> > martabat, dan ketertindasan masyarakatnya. Dan semoga para dokter
> > Indonesia bangkit melawan penjajahan terhadap kesehatan bangsanya.
> > Ikhtisar:
> > - Banyak pengabdian dokter bukan karena kesadaran, tetapi
keterpaksaan.
> > - Biaya pendidikan yang mahal membuat banyak dokter kehilangan hati
> > nurani.
> > _____
> > Berita Republika Online
> > http://www.republik a.co.id/Cetak_ detail.asp? id=334710&
kat_id=16
> > <http://www.republik a.co.id/Cetak_ detail.asp? id=334710&
kat_id=16>
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> >
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> > ------------ --------- --------- ------
> > [ Forum Kesehatan : http://www.medisian a.com ]Yahoo! Groups Links
> > Individual Email | Traditional
> > http://docs. yahoo.com/ info/terms/
>
[Non-text portions of this message have been removed]
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar