Paradoks Fatwa MUI, Haramnya Rokok & Golput
�
Kalau kita memahami arti harfiah Fatwa yang berasal dari bahasa arab, kata �Sfatwa⬝ berarti sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah dewan mufti atau ulama. Dan tentunya penyelengarannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi guna dijadikan pegangan pelaksanaannya dalam beribadah bagi umat Islam.
Berdasarkan defenisi diatas, maka peran fatwa akan sangat bermakna jika dikeluarkan oleh institusi yang sangat terhormat dan berwibawa seperti MUI. Karena dalam konteks hukum Islam, pelaksanaannya memiliki strata, yaitu mulai dari hukum yang tertinggi adalah hukum Allah yang dalam implementasinya tergambar dalam kitab suci Al Quraan, selanjutnya sunnah rasul �SHadits⬝, dan jika belum jelas dari kedua dasar hukum tersebut, maka Ulama sebagai perpanjangan tangan rasul dewasa ini bisa melakukan ijtihadiyah. Dan buah dari ijtihad tersebut akan berupa fatwa untuk dijadikan landasan hukum untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan beragama. Dimana masalah atau kejadian tersebut mungkin tidak terjadi dizaman rasul. Jadi fatwa tersebut bisa berupa Haram, Sunnah, Makru, atau Muba. Untuk selanjutnya akan menjadi tuntunan ummat dalam kehidupan beribadahnya.
Hal yang paling aktual dewasa ini adalah, dikeluarkannya Fatwa majelis ulama tentang Haram Hukunya Rokok dan Golput. Tentunya kedua pokok bahasan diatas akan menjadi menarik, karena pasti akan terjadi pertentangan dalam masyarakat.
Untuk hal Haram merokok, ini telah menjadi perdebatan yang sangat panjang mengenai hukum agamanya. Sebagian ulama berpendapat sejak dulu, bahwa Merokok Haram hukumnya, karena dilandasi oleh banyak pertimbangan yaitu: 1). Secara ekonomi orang yang merokok hanya menghabiskan dan menghambur-hamburkan uang dengan mengisap asap (Mubasir). 2) Dalam konteks lingkungan akan memperburuk lingkungan apalagi bagi orang yang merokok didalam ruangan tertutup. 3). Demikian pula dalam konteks kesehatan dapat menyebabkan penyakit kanker saluran pernafasan, juga dapat memberikan efek addiksi atau ketagihan yang berkepanjangan, karena didalam asap rokok terdapat banyak toksin yang sangat berbahaya bagi kesehatan, seperti; tar, carbon tidak jenuh, dsbnya. Apalagi bagi ibu hamil, racun rokok dapat menyebabkan kekerdilan janin hingga abortus. Demikian pula racun rokok dapat menyebabkan gangguan pembuluh darah, berupa atherosklerosis, hingga penyakit jantung coroner.
Jadi merokok dalam status agamanya adalah lebih besar mudaratnya dibanding manfaatnya, namun rokok tidak menyebabkan kehilangan ingatan atau kesadaran seperti pada minuman keras yang dapat menyebabkan mabuk. Sedangkan mabuk dalam hukum syariahnya adalah Haram.
Dilain sisi bagi sebagian orang yang telah ketagihan, merokok merupakan suplemen, karena setelah merokok orang tersebut akan merasa mendapat tenaga tambahan untuk berpikir dan berkerja. Berdasarkan hal itu, maka sebagian ulama berpendapat bahwa rokok tidak haram, hanya sampai tingkatan Makru. Yaitu kalau dilaksanakan tidak bedosa, tetapi kalau tidak dilaksanakan akan berpahala. Jadi dengan melihat aspek hukum rokok ini, kelihatnnya tidak terlalu mendapat penolakan dalam masyarakat, apalagi peng-haraman-nya hanya terbatas pada anak-anak dan ibu hamil.
Hal yang lebih dramatis adalah keluarnya Fatwa Haram Hukumnya GOLPUT (Atau tidak menggunakan hak Pilih). Fatwa ini secara hukum pemilu tentunya bertentangan dengan undang-undang pemilu. Sehingga akan memunculkan tuduhan bahwa MUI telah memasuki arena politik praktis. Berdasarkan UU Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Bab IV Pasal 19 sangat nyata dan jelas bahwa memilih merupakan hak dan bukan kewajiban. Dalam konteks apapun yang namanya �SHak⬝, akan merupakan suatu kebebasan bagi yang mempunyai hak tersebut untuk meyalurkan aspirasinya. Apakah itu ke partai tertentu, ataupun tidak menyalurkan aspirasi tersebut. Jika sang pemilik hak merasa bahwa para kandidat tidak ada yang memenuhi syarat dan amanah. Tentunya masyarkat berhak untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Disinilah letak makna dan arti demokrasi, dengan demikian masyarkat akan benar-benar menggunakan hak pilihnya sesuai hati nurani, dan pikiran jernih, tanpa dilandasi
perasaan bersalah. Juga menentukan pilihan dilandasi oleh akal sehat dan keyakinan yang benar, tanpa paksaan dan dokrin.
Berdasarkan hal ini pula yang memunculkan spekulasi bahwa MUI telah memasuki rana politik praktis, yang pada akhirnya bisa mendegradasi wibawa Majelis Ulama yang sangat terpandang selama ini.
Semoga paradoks ini bisa menjadi salah satu tanggapan demi pengembangan demokrasi yang lebih dewasa dan bertanggung jawab, serta memposisikan Majelis Ulama Indonesia pada tempat yang semestinya.
TARUNA IKRAR, MD., Ph.D
Postdoctoral Fellowship Division of Inter Discipliner of Neurosciences,
UNIVERSITY OF CALIFORNIA, School of Medicine, Med Surg II, Room 364, Ir, 92697, CA, USA
[Non-text portions of this message have been removed]
------------------------------------
[ Forum Kesehatan : http://www.medisiana.com ]Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:dokter_umum-digest@yahoogroups.com
mailto:dokter_umum-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
dokter_umum-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar