Dear Hoesana,
Saya memang bukan seorang paramedis...
Mengenai masalah puyer, klo boleh berkomentar, ini mungkin berawal dr
sebuah asumsi atau stigma klo puyer lebih cepat meringankan suatu
sakit pada anak kecil.
Bangsa ini memang perlu pembelajaran lebih lanjut seputar kesehatan,
dipungkiri atau tidak tingkat awareness bangsa kita dengan kesehatan
masih kurang.
Ada baiknya, paramedis kita bisa alih teknologi dunia medis dengan
negara yang tingkat pemahaman dan teknologi kesehatannya lebih maju.
Tetap semangat ya Dokter Indonesia
-Dewi Puspasari-
--- In dokter_umum@yahoogroups.com, "hoesana" <hoesana@...> wrote:
>
>
>
>
> Ketika saya lulus menjadi seorang dokter, terus terang saya bagaikan
> orang
> buta yang baru pernah melihat merasa senang kegirangan karena status
> dokter
> yang saya sandang, tetapi masih meraba raba juga karena belum tahu apa
> yang
> harus saya lakukan.
>
> Menangani pasien pertama kalinya (sebagai seorang dokter tentunya)
> merupakan
> suatu kebanggaan tersendiri. Pasien datang, mendengarkan keluhannya,
> memeriksa, dan memberikan obat.
> Puas? Tentu saja puas rasanya. Pasien puas, karena keluhan berkurang
> bahkan
> menghilang. Dan bulan berikutnya pasien ada keluhan mereka kembali
> kepada
> saya karena merasa cocok dengan obat yang saya berikan.
>
> Sebagai catatan ketika saya bilang pasien, termasuk orang tua pasien
> untuk
> pasien saya yang tergolong anak anak. Anggap saja saya sedang
> membicarakan
> pasien anak anak.
>
> Tapi apakah saya sudah menangani pasien tersebut dengan baik? Tentu saja
> TIDAK jawabannya.
> Mengurangi keluhan pasien bukan berarti menyembuhkan, bahkan tanpa
> disadari
> bisa membahayakan pasien.
>
> Ada satu titik balik dimana saya menyadari terdapat kesalahan dalam
> penanganan pasien saya selama ini, dan di kemudian hari saya bertemu
> dengan
> komunitas yang membuat saya semakin belajar dan belajar setiap harinya.
>
> Sebelumnya puyer menjadi andalan saya, pasien (orang tua pasien) puas,
> waktu
> yang dibutuhkan untuk menangani pasien jauh lebih singkat. Cukup
> berkata: oh
> ini batuk pilek, obatnya cukup minum, 3 hari tidak sembuh balik kembali.
> Rutinitas yang saya lakukan selama sekitar 6 bulan pertama saya menjadi
> dokter.
>
> Sampai suatu saat saya menemukan suatu kejadian yang begitu menampar
> saya.
> Datanglah seorang pasien berumur 5 bulan, datang dengan keluhan mencret
> mencret. Seperti biasa, meresepkan puyer sepertinya sudah ada cetakan
> tersendiri di otak saya. Lalu saya berikan resep puyer yang kurang lebih
> fungsinya menghentikan kerja usus, sehingga keluhan mencret mencret
> berkurang.
> Apa yang terjadi. Apakah puyer yang saya berikan menjadi solusi atas
> kasus
> pasien saya? Ternyata tidak. Pasien saya tidak mencret lagi, tetapi
> jatuh ke
> dalam kondisi dehidrasi sedang. Karena apa? Sudah merasa yakin dengan
> puyer
> yang saya berikan, sehingga lupa dengan tata laksana diare akut yang
> seharusnya, pemberian larutan rehidrasi oral.
>
> Sejak saat itu saya menyesal, bukan hanya menyesali perbuatan saya yang
> melupakan guideline, tetapi penyesalan itu dilanjutkan dengan penyesalan
> dengan entah berapa resep puyer yang saya berikan.
>
> Terkadang saya merasa, Tuhan sangat baik terhadap saya. Masih menuntun
> saya,
> meskipun dengan tamparan, ke jalan yang seharusnya.
>
> Ketika saya masih merasa tidak ada yang salah dengan puyer, tapi di
> komunitas itu memperdebatkan penggunaan puyer. Lalu saya bertanya pada
> diri
> saya sendiri. Saya yang salah atau mereka yang menentang puyer yang
> tidak
> mengerti.
>
> Lalu pertanyaan pertanyaan yang mengalir di komunitas itu membuat saya
> lebih
> membuka mata saya, memanfaatkan teknologi canggih untuk memperbaharui
> keilmuan saya. Dan ternyata sebenarnya itu bukan ilmu baru, hanya saja
> saya
> yang terlalu malas dan bodoh untuk mengamalkan pelajaran saya yang
> semestinya.
>
> Mengapa saya harus memberikan puyer? Saya tidak hidup di daerah yang
> terpencil. Dimana akses untuk obat obatan dosis anak mungkin sulit
> sekali.
> Dan kalaupun membutuhkan obat hanya satu jenis saja, tapi rasanya
> parasetamol sirup bisa diusahakan, hanya kalau terdesak baru menggunakan
> parasetamol tablet yang dihancurkan (note hanya parasetamol tablet)
>
> Ya... saya telah bermain main dengan 3 hal. Puyer, polifarmasi, dan
> pengobatan yang tidak rasional.
>
> Lalu kemanakah ilmu farmakologi saya. Menguapkah seiring dengan kenaikan
> tingkat saya. Lupakah saya bahwa setiap obat dikemas sedemikan rupa
> sesuai
> dengan cara penggunaannya. Lupakah saya dengan interaksi obat. Dua obat
> yang
> dicampur saja risiko interaksi obat cukup berat, apalagi tiga atau empat
> macam obat. Mungkin saya tidak lupa dengan interaksi obat, tetapi saya
> tidak
> paham betul dengan interaksi obat.
>
> Lalu dimana ilmu klinis saya. Apa iya setiap pasien dengan keluhannya,
> yang
> diterapi adalah keluhannya bukan diagnosis atau penyakit itu sendiri.
>
> Apa iya saya harus memberikan puyer hanya karena pasien saya (orang tua
> pasien) merasa hanya puyer yang manjur untuk keluhan anaknya.
> Apa iya saya harus memberikan puyer hanya untuk mempersingkat waktu
> kunjungan dibanding saya harus menjelaskan panjang lebar mengenai
> diagnosis
> penyakitnya.
> Apa iya demi semua kenyamanan orang tua, maka anak kecil harus menerima
> risiko yang ditimbulkan oleh puyer.
> Apa iya memberikan puyer supaya harga obat yang harus ditebus bisa lebih
> murah? Lalu bagaimana dengan risiko penyakit yang ditimbulkan dari
> puyer,
> apa bisa tergantikan dengan harga obat yang murah.
>
> Saya tidak bisa membayangkan ketika parasetamol berinteraksi dengan
> diazepam
> atau berinteraksi dengan luminal, akan menghasilkan metabolit yang
> justru
> membahayakan hati anak tersebut yang nota bene belum berfungsi dengan
> baik.
> Baru parasetamol saja, belum obat obatan yang lainnya.
>
> Saya belajar dan belajar lagi. Sekali lagi Tuhan sayang sekali kepada
> saya.
> Masih diberikannya kesempatan saya untuk memperbaiki diri saya.
>
> Mengapa harus puyer? Jikalau keluhan yang disebabkan oleh virus sembuh
> sendiri dan tidak membutuhkan terapi apapun. Mengapa harus puyer, jika
> parasetamol sangat terjangkau dan dapat didapatkan di puskesmas dengan
> gratis. Kalaupun tidak ada dosis yang sesuai, mengapa tidak sertakan
> pemberian pipet atau spuit tanpa jarum untuk membantu pemberian obat.
> Atau
> parasetamol tablet pediatrik pun bisa digunakan.
> Apa tidak tahu bahwa anak batuk tidak boleh diberi obat batuk?
> Apa tidak tahu bahwa diare tidak boleh diberi obat diare?
> Apa tidak tahu bahwa muntah tidak boleh diberi obat muntah?Lalu apa
> gunanya diagnosis? Terapi sesuai dengan diagnosis bukan "a pill for
> an ill". Obat obatan simtomatik yang terkandung di puyer, tidak
> menyelesaikan permasalahan, justru menimbun penyakit diam diam, efeknya
> tidak hari ini tapi di masa depan.
>
> Mengapa harus puyer, jikalau saya yang tidak paham mengenai
> farmakodinamis
> dan farmakokinetik obat ini tidak berpikir secara higinis. Bersihkah
> mortar
> tempat membuat puyer, dapat menjamin tidak tercampur dengan bahan bahan
> lain
> atau tidak?
>
> Mengapa harus puyer, jikalau saya yang harus menguasai keluhan umum,
> harus
> membabi buta dengan memberikan puyer pada setiap keluhan pasien tetapi
> tidak
> mengindahkan kaidah "good manufacturing practice", dan apakah saya bisa
> menjamin bahwa campuran itu homogen dan pembagian dosisnya sudah sesuai
> ditiap-tiap bungkus puyer itu.
>
> Apa saya bisa menjamin semuanya. Menjamin bebas dari interaksi obat,
> menjamin kebersihannya, menjamin bahwa obat itu fungsinya tidak berubah
> ketika bentuknya tidak sesuai dengan yang seharusnya?
>
> Apa disekitar saya begitu terbatasnya sehingga saya tidak bisa
> memberikan
> obat yang berbentuk sirup?
>
> Apa saya tidak bisa meyakinkan kepada pasien bahwa, yang diterapi adalah
> penyakit/diagnosis bukan keluhannya?
>
> Apakah dektsrometorfan, luminal, efedrin, diazepam, kodein, ambroksol,
> bromheksin, papaverin, teofilin, antibiotik, dan beberapa jenis obat
> lainnya
> yang sering diresepkan pada puyer anak sebegitu mendesaknya untuk
> diberikan
> kepada anak sehingga melupakan kaidah pengobatan yang seharusnya?
> Apakah itu menjadi nilai ekonomis?
>
> Jika puyer membantu, maka mengapa tidak ada standar dalam pembuatan
> puyer?
> Apakah setiap dokter sama seperti rumah makan memiliki resep tersendiri
> dalam pemberian obatnya? Lalu apa bedanya ilmu yang dipelajari? Apa
> gunanya
> Guideline, apa gunanya text book?
>
> Sampai saat ini saya tetap berkata tidak kepada puyer untuk menghindari
> diri
> dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan sebelumnya, Karena
> menjadi
> dokter adalah amanah yang cukup berat. Memegang janji antara saya dengan
> Tuhan saya Allah SWT. Jika saya tidak menggunakan puyer semata mata saya
> takut dengan sang Khalik. Takut tidak menjalankan amanah dengan sebaik
> baiknya.
>
> --
> najwa's lovely aunty: ordinary doctor ordinary person ordinary dreamer
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
------------------------------------
[ Forum Kesehatan : http://www.medisiana.com ]Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:dokter_umum-digest@yahoogroups.com
mailto:dokter_umum-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
dokter_umum-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar