Kamis, 25/02/2010 09:32 WIB
Sakit Ini, Sakit Itu Tapi Tak Ketemu Penyakitnya
Rizaldy Pinzon : detikHealth
detikcom - Jakarta, Seringkali pasien mengeluh ke dokter ada yang tidak beres pada tubuhnya. Tapi setelah dilakukan berbagai pemeriksaan mulai dari laboratorium hingga pemeriksaan canggih CT Scan tetap tidak ditemukan gangguan. Apa yang terjadi pada pasien?
Seperti yang dialami Nona E, 19 tahun yang datang beberapa kali ke rumah sakit dengan berbagai keluhan. Sekali waktu ia datang dengan keluhan nyeri kepala, lain waktu dengan keluhan sakit perut, nyeri punggung bawah, bahkan kejang. Ia telah menjalani berbagai macam pemeriksaan, mulai dari laboratorium sampai dengan pencitraan, mulai dari yang sederhana sampai dengan canggih (MRI atau CT Scan Kepala).
Semua pemeriksaan menunjukkan hasil yang normal. Keluhan yang muncul, datang dan pergi dengan sendirinya. Sekali waktu ia mengeluh kejang yang aneh, semua pemeriksaan menunjukkan hasil yang normal. Kejang pada akhirnya hilang sendiri tanpa pemberian obat apa-apa, dan digantikan oleh sesak nafas yang sifatnya juga 'aneh'.
Ia menolak untuk dikonsultasikan ke psikolog atau psikiater untuk evaluasi lebih lanjut. Ia selalu mengatakan "Dok saya ini benar-benar sakit".
Pertanyaan kritis yang muncul adalah "Apa yang sebenarnya terjadi pada Nona E?", "Mengapa ia menjalani berbagai pemeriksaan dengan hasil akhir yang normal?", "Apa yang dapat dilakukan untuk menolong Nona E?"
Pada akhirnya evaluasi bersama tim dokter (spesialis penyakit dalam, spesialis saraf dan psikiater) yang memeriksa Nona E sampai pada kesimpulan gangguan somatisasi.
Gangguan psikosomatik dapat diartikan sebagai reaksi jiwa pada fisik (soma). Menurut American Psychosomatic Society (2005), gangguan psikosomatik berasal dari bahasa Yunani (Psyche= jiwa dan Soma= fisik), sehingga psikosomatik dapat diartikan sebagai hubungan fisik dan jiwa. Ada hubungan yang sangat erat antara faktor fisik, faktos psikologis, dan sosial terhadap perjalanan suatu penyakit.
Gangguan psikomatik ini mungkin bisa menjawab, 'Mengapa seseorang bisa terkena serangan jantung setelah bertengkar dengan bosnya?, Mengapa penyakit rematik jadi jauh lebih sakit ketika penyandangnya stres?, Mengapa kematian penyakit jantung dipengaruhi oleh ada tidaknya depresi?'
Sebuah penyakit dapat muncul akibat banyak faktor. Penyakit dapat muncul sebagai akibat faktor lingkungan atau sosial. Penyakit dapat muncul juga akibat faktor genetik dan keturunan. Berbagai faktor tersebut akan berinteraksi dengan kompleks.
Faktor psikologis dapat sebagai pencetus munculnya gangguan fisik, misalnya gangguan tidur akibat kecemasan, nyeri otot tengkuk akibat stres atau diare dan nyeri ulu hati akibat ketakutan.
Faktor psikologis dapat pula mempengaruhi perjalanan klinis suatu penyakit, misalnya pasien stroke dengan depresi akan memiliki status fungsional yang relatif lebih buruk dibanding tanpa stres, angka kematian penyakit jantung koroner dipengaruhi oleh ada tidaknya depresi.
Faktor psikologis mempengaruhi berbagai organ tubuh melalui mekanisme yang kompleks antara faktor saraf, hormonal, dan imunologis. Stres kronik dapat mempengaruhi sistem saraf simpatis dan aktivasi sistem hormonal (aksis hypothalamus-
Pacuan sistem hormon adrenal yang berlangsung lama dihubungkan dengan penekanan sistem imun (sistem kekebalan tubuh) karena hormon steroid. Hal ini menerangkan mengapa seseorang dengan stres kronik lebih mudah sakit. Pacuan sistem saraf simpatis menerangkan munculnya hipertensi, stroke, dan penyakit jantung koroner akibat stress emosional.
Pada beberapa kasus, gangguan psikosomatik dapat muncul reaksi konversi yang aneh dan tidak dapat dijelaskan oleh ilmu kedokteran. Buta mendadak, lumpuh mendadak, atau kesemutan yang sifatnya aneh umum dijumpai. Penderita pada umumnya masih berusia muda, sebagian besar wanita dan didahului oleh stressor yang jelas. Pasien ini akan menjalani berbagai pemeriksaan dengan hasil yang normal. Penulis beberapa kali menjumpai kasus konversi, dan tindakan psikoterapi sangat membantu kesembuhan pasien.
Pada umumnya pasien dengan gangguan psikosomatik sangat meyakini bahwa sumber sakitnya benar-benar berasal dari organ-organ dalam tubuh. Pada praktik klinik sehari-hari, pemberi pelayanan kesehatan seringkali dihadapkan pada permintaan pasien dan keluarganya untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan (rontgen).
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu untuk mengurangi kecemasan pada pasien dan keluarganya. Bila hasil pemeriksaan normal, maka tidak perlu ada kecemasan yang berlebih tentang suatu kondisi penyakit yang serius. Simak contoh pada Nona E di atas, ia tidak mau dikonsulkan kepada psikolog atau psikiater karena ia sangat yakin bahwa sumber sakitnya adalah fisik dan bukan psikis.
Mengapa ini terjadi? Kajian sosiologis oleh Nettleton (2006) menggambarkan bahwa pasien 'lebih suka menderita sakit yang sifatnya nyata'. Sebagian besar pasien juga akan sangat resisten bila diberitahu bahwa sakitnya berhubungan dengan stressor psikososial.
Sifat manusia tidak akan suka hidup dalam ketidakpastian, sehingga pasien tetap akan mencari tahu apa penyebab pasti dari sakitnya. Hal ini membuat pencarian penyebab organik akan terus dilakukan. Seorang pasien nyeri kepala primer kronik sangat mungkin akan menjalani pemeriksaan MRI, CT Scan kepala, EEG dan berbagai pemeriksaan laboratorium untuk mencari jawaban 'ada sesuatu yang salah dengan diri saya'.
Penulis pernah melakukan penelitian yang dipresentasikan pada pertemuan nasional Indonesian Pain Society (Agustus 2007). Penelitian ingin mengungkap harapan pasien nyeri kepala kronik primer (sebagian besar nyeri kepala tipe tegang otot). Nyeri kepala tipe tegang otot merupakan suatu bentuk gangguan psikosomatik yang umum dijumpai.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hal utama yang pasien inginkan adalah 'mencari tahu darimana nyeri kepala berasal'. Proses pencarian ini bisa sangat mahal dan menghabiskan sumber daya. Penelitian ini serupa dengan penelitian Davies, dkk (2005) pada 52 pasien nyeri kepala di klinik nyeri tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77% pasien tetap masih ingin tahu sumber nyeri kepalanya dan 33% masih menginginkan pemeriksaan tambahan.
Bagaimana seorang dengan gangguan psikosomatis dapat diobati?
Seorang petugas kesehatan harus melihat pasien atau klien sebagai makhluk fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang utuh. Keluhan seorang pasien harus ditanggapi dengan serius (betapa pun anehnya keluhan tersebut).
Penelitian menunjukkan bahwa pasien psikosomatis seringkali tidak puas dengan pelayanan medis yang didapatnya akibat tanggapan dokter yang tidak serius tentang penyakitnya. Pasien ini akan cenderung berpindah-pindah dokter atau rumah sakit tanpa hasil.
Seorang pasien akan lebih nyaman dan puas bila mendapat penjelasan yang jelas tentang penyakitnya, informasi dan instruksi yang jelas, dan pemeriksaan yang teliti (Verbeck, 2005).
Simak kata-kata Hipocrates, seorang pasien akan merasa lebih nyaman dengan sapaan, senyuman dan bila didengar dengan empati. Komunikasi yang baik harus dijalin untuk mengeksplorasi adanya stressor, dan seringkali tindakan konseling diperlukan. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi psikologis klinis sangat membantu dalam banyak kasus. Kerjasama multidisiplin sangat diperlukan demi kebaikan pasien.
Jadi jika Anda sering mengalami berbagai keluhan tapi ketika diperiksa tidak juga ditemukan masalah penyakit, mungkin jawabnya adalah terjadi gangguan psikomatis yang lebih ke arah masalah psikis.

dr Rizaldy Pinzon, Mkes, SpS
Regards, Lia Brasali-Ariefano, Dr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar