Google
 

27 Desember 2008

[Dokter Umum] Hukuman Fisik, Masihkah Perlu?

Hukuman Fisik, Masihkah Perlu?
By Republika Newsroom
Rabu, 24 Desember 2008 pukul 12:25:00

DISIPLIN: Kata disiplin berasal dari bahasa latin yang artinya memberikan
pengertian dalam hidup. Sebaiknya penerapannya tidak menggunakan kekerasan.

JAKARTA-- Melihat anak berbuat salah, seringkali membuat orangtua dan guru
di sekolah gemas untuk memberikan hukuman si anak. Tak jarang hukuman fisik
menjadi pilihan dalam bertindak.

Di Mesir, seorang guru bernama Haitham Nabil Abdul Hamid diajukan ke
pengadilan di kota Iskandariah setelah dituduh memukuli muridnya yang
berumur 11 tahun sampai mati.

Situs BBC dalam laporannya mengatakan, siswa berusia 11 tahun bernama Islam
Amr Badr meninggal ketika sedang mengikuti pelajaran.

Hakim di pengadilan pidana Iskandariah mendengar kesaksian dari teman -
teman Islam Amr Badr, yang menggambarkan bagaimana dia oleh gurunya dalam
pelajaran matematika. Mereka mengatakan, dia dihukum karena tidak
mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

Akibat pukulan gurunya, dua rusuk Islam Amr Badr patah. Perutnya juga
mengalami cedera yang membuat tekanan darahnya jatuh dan akhirnya
menyebabkan gagal jantung.

Pak Guru yang baru berusia 23 tahun itu mengaku cuma berniat menanamkan
disiplin dan tidak bermaksud melukai siapa-siapa.

Jika hal itu terjadi di Mesir, bagaimana dengan hukuman fisik di Indonesia?
Kembali kepada sistem pendidikan di Indonesia pada tahun 1960-an atau
1970-an, masih banyak guru yang memberlakukan hukuman seperti memukul tangan
murid dengan penggaris kayu.

Atau, orangtua yang berusaha mendidik anak di rumah dengan sabetan sapu
lidi, karena anak malas mengerjakan PR. Salah satu persamaan alasan hukuman
tersebut, anak bakal jera melakukan kesalahan yang sama.

Di sekolah, tak jarang masih terlihat dilakukannya hukuman badan. Banyak
guru atau para pendidik berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan
menambah kekuatan atau kewibawaan guru sehingga murid akan lebih mudah
dikendalikan.

Kini hukuman badan sering digugat efektivitasnya oleh kalangan orang tua,
para pendidik, maupun psikolog. Hukuman badan ada kalanya memang berdampak
positif. Namun, terbuka pula peluang untuk melahirkan dampak negatif.

Menurut Pengamat pendidikan anak dari Kinderfield Pre-school/Kindergarten,
Yustitia, kini sebagian besar sekolah tidak lagi menggunakan istilah hukuman
sebagai balasan atas perbuatan siswa yang dianggap tidak baik. Sebagian
pendidik menyebut tindakannya sebagai konsekuensi.

"Setiap sekolah pasti memiliki program kedisiplinan dan konsekuensi belajar.
Dari situ maka akan dibuat aturan-aturan yang diterapkan di kelas. Salah
satu aturan umum misalnya anak harus duduk rapi ketika guru menjelaskan,"
ujar Yusti, sapaan akrab Yustitia.

Jika suatu waktu salah seorang siswa melanggar aturan, dengan bertanya bukan
pada saatnya atau membuat ricuh, maka wajar saja jika guru memberikan
konsekuensi.

"Setiap guru pasti punya aturan masing-masing di kelas. Yang penting, anak
harus diberitahu mengenai aturan itu sejak awal sehingga dia mengerti telah
berbuat salah," terang Yusti.

Hal itu membuat, kebijakan dari masing-masing sekolah berbeda. Toleransi
dari tindakan anak-anak pun berbeda dari setiap sekolah. Utamanya, anak
harus diinformasikan mengenai peraturan-peraturan yang berlaku disekolahnya.

Penulis Kids Are Worth It, Barbara Coloroso menuturkan anak bisa saja
belajar dari kesalahannya dan mengubah prilakunya tanpa hukuman. Justru
semakin meningkatkan hukuman, tidak akan mengajarkan anak mengenai sesuatu
yang membangun.

"Disisi lain, kata disiplin sesuai dengan artinya dalam bahasa latin yaitu
memberikan anak pengertian dalam hidup. Menjalankan disiplin memiliki empat
kelebihan dibandingkan sekedar menghukum," terang Barbara.

Dia menuturkan, disiplin akan menunjukkan anak perbuatan salah yang
dilakukannya, membuat anak memahami kesalahannya dan memberikan anak jalan
untuk penyelesaian.

"Yang paling penting adalah disiplin akan menjaga harga diri anak. Berbeda
dengan hukuman yang akan menjatuhkannya," terang Barbara.

Selain itu, para orangtua dan guru juga seringkali memberikan nasihat yang
terkesan menggurui anak. "Kalimat yang biasa dikatakan orangtua seperti,
jika kamu belajar, kamu tidak akan gagal atau jika kamu tidak memukul adikmu
maka kamu tidak akan dihukum berada di kamar. Saya pikir anak-anak tidak
membutuhkan informasi demikian, yang sudah diketahuinya," jelasnya.

Dia menambahkan, dengan menghindari hukuman dan kalimat menggurui maka
anak-anak akan belajar bagaimana menyelesaikan masalah yang dilakukannya.

Salah satu hal yang dikhawatirkan Yusti ketika anak dihukum fisik ialah
pesan hukuman yang tidak sesuai. Misalnya, anak dipukul oleh ibunya karena
ia kedapatan mencubit adiknya terlebih dahulu tanpa sebab.

"Jika ibunya melakukan itu yang saya khawatirkan pesan yang anak terima
ialah jika ia disakiti maka harus balas menyakiti. Padahal, pesan yang ingin
ibu sampaikan sebenarnya ialah jangan menyakiti orang lain karena rasanya
pasti tidak enak. Tapi, pemikiran anak kan masih terbatas," pungkasnya.

Jika orangtua dan guru mampu menyelami pemikiran dan mengukur kemampuan
anak, sedianya tidak perlu mendisiplinkan anak dilakukan dengan hukuman
fisik yang notabene dekat dengan kekerasan. (ri)

republika.co.id

Regards,

Dr.Lia Brasali Ariefano


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

[ Forum Kesehatan : http://www.medisiana.com ]Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:dokter_umum-digest@yahoogroups.com
mailto:dokter_umum-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
dokter_umum-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: